Kupiah Riman, Warisan Pidie Kepada Indonesia
Siang itu, cuaca di Kecamatan Mutiara timur, Kabupaten Pidie, didominasi oleh mendung namun sesekali matahari bersinar melewati awan-awan kelabu yang terus mengintari sebagian Aceh, Kamis (11/2) lalu. Admin terus mengendarai sepeda motornya menuju Gampong Meunasah Dayah, setelah bertanya-tanya dengan sejumlah warga disana, sampailah disebuah rumah adat Aceh yang masih tergolong sangat bagus. Meskipun rumah tersebut sudah dimodifikasi sebagian bawahnya dengan beton sehingga membentuk ruangan-ruangan baru, pada dasarnya rumah tersebut merupakan rumah Aceh yang khas dengan bilik-biliknya .
Lantai bawahnya sudah tersemen rapi, pagarnya terbuat dari kawat beronjong biasa, tapi halamannya yang luas masih sangat indah untuk dipandang. Terlihat dua wanita muda dan dewasa berada dibawahnya, kami disambut dengan baik saat tiba didepan rumah.
Perempuan dewasa itu duduk diatas sebuah tempat tidur bekas yang dijadikan tempat tongkrongan bagi mereka, disampingnya tersusun banyak penutup kepala yang sering digunakan kaum pria untuk melaksanakan ibadah shalat dan sering juga dipakai untuk aktifitas sehari-hari. Di Indonesia penutup kepala tersebut dinamai
Kupiah Riman, kupiah yang hanya ada di Indonesia dan tentunya hanya dibuat di Gampong Meunasah Dayah, Kemukiman Adan, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, kini Kupiah riman telah menjadi warisan budaya Indonesia sejak disahkan oleh Menteri Pendidikan Indonesia, 2015 silam.
Kepada nanggroepidie.com, wanita tersebut mengaku bernama Maryani, berumur 45 tahun, dia adalah pemimpin di kelompok kerajinan Riman Beutari. Dia mengaku telah menjalankan aktifitas kerajinan tangannya sejak duduk di sekolah menengah pertama, sekarang dia telah memiliki 30 orang pekerja yang membantunya memproduksi Kupiah Riman, katanya.
Dia juga menjelaskan bahwa, kerajianan tangan membuat kupiah tradisional Aceh tersebut telah ada turun temurun di Gampongnya, bahkan dia mengatakan disekitar dia tinggal sekarang, anak-anak Sekolah Dasar sudah bisa membuat Kupiah Riman.
“Kupiah riman, sudah ada sejak masa kesultanan Aceh, yang dipakai oleh laki-laki Aceh dari kaum bangsawan dan masyarakat biasa, berbeda dengan Kupiah Meukutob yang hanya dipakai oleh raja dan ulama saat itu,” Ceritanya.
Maryani mengatakan, dirinya mampu membuat satu kupiah riman selama 3 hari, biasanya dia memproduksinya untuk kebutuhan toko-toko souvenir di ibukota. Dalam sebulan, dia mengirimkan barangnya sebanyak dua kali sebanyak 50-70 Kupiah Riman. Adapun harganya juga bervariasi, mulai dari Rp. 150 ribu – Rp. 500 ribu per kupiah, sehingga dia mengaku mendapatkan omset penjualan mencapai Rp. 15 juta setiap kali pengiriman barang.
“Saya biasanya menjualnya ke Banda Aceh pak, ke toko-toko souvenir langganan saya, saya kirimnya dalam sebulan dua kali, sekali pengiriman 50 sampai 70 kupiah, kalau harganya bervariasi pak, bisa Rp. 150 ribu sampai Rp. 500 ribu, tergantung tingkat kesulitan membuatnya,” Jelas wanita lulusan SMA 1 Negeri Bereunuen tersebut.
Untuk pembuatannya sendiri, kupiah riman terbuat dari serat pelepak Aren yang membutuhkan waktu lama untuk menjadi seperti benang kemudian baru disulam. Kupiah riman sendiri harus dibuat menggunakan tangan, jadi tidak bisa menggunakan mesin meskipun teknologi sekarang semakin canggih. Dewasa ini, Maryani, tidak lagi produktif membuat kupiah, seiring aktifitasnya yang melambat dan umurnya yang menjelang lanjut, pandangan matanya juga sudah terbatas, sehingga dia lebih banyak menerima hasil sulaman dari anggota kelompoknya yang sudah terdidik dengan baik. mengenai harganya, kupiah riman tergantung sulamannya, apakah halus dan kasar, motif kupiah juga menentukan nilai jualnya.
“Biasanya yang sedikit mahal itu yang pesanan pak, karena biasanya yang pesanan ada yang menetukan motifnya, apalagi motif Pinto Aceh, tingkat kerumitannya berbeda. Selain itu, sulaman halus dan kasar juga menetukan harga dalam penjualan Kupiah Riman,” Pungkasnya.
Adapun kendala yang dialami kelompoknya, dia megaku kewalahan dengan jumlah yang diproduksi dengan jumlah permintaan pasaran, sehingga banyak souvenir yang tidak merata terbagi. Selain itu, meskipun kupiah riman sudah masuk dalam warian budaya Indonesia, dia mengaku banyak kelompok kerajinan kupiah di Gampongnya yang tidak diakui oleh Pemerintah, sehingga mereka sulit mengembangkan usahanya.
“Kami sudah banyak mengirimkan proposal ke Dinas Perindustrian Pidie, tapi tidak pernah di gubris, makanya sekarang kami mendingan mandiri sendiri. Padahal dengan permintaan banyak, tapi tenaga terampil yang kurang menjadi kendala besar untuk pengembangan industri kami. Jadi penghargaan warisan budaya tersebut sama sekali tidak berefek pada kami dari pemerintah,” Terangnya.
Pun demikian, Maryani, berharap Pemerintah Kabupaten Pidie, serius dalam mengembangkan industri kupiah riman, baik dari segi pengembangan sumber daya manusianya dan pengembangan industrinya. Jika sudah banyak pengarajinnya nanti setelah di didik, bagusnya lagi Pemerintah Pidie, membantu mendongkrak penjualan, baik skala lokal dan nasional, bila diperlukan bisa mengekspor keluar negeri, harapnya sambil tersenyum sembari menyulam kupiah yang belum siap jadi ditangannya.