Diantara sederet kisah luka di Aceh, rumoh Geudong (Pos Sattis, Kopassus) memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat Jendral Wiranto menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagai kasus kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.
Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aksi kepung yang dilakukan oleh tentara Marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang didapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan di pemakaman raja-raja di desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.
Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.
Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuke Keujren Husein dan Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati oleh anaknya Teuku Muhammad.
Pengurusan Rumoh Geudong sekarang ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak teuku Keujren Gade.
Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak april 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya sementara tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus "rumah tahanan" dan tidak mau pindah lagi, baru pada tahun 1996 dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditanda tangani oleh Muspika setempat, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhluk halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.
Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis pada penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar makhluk halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.
Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur rumah atas (rumah Aceh), secara tia-tiba diturunkan ke rumah bawah. Pada tahun 1992 sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong dan kemudian terpaksa pindah ke desa Amud. Namun karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota kopassus memindahkan lagi posnya ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama terkenal Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhluk halus yang sering menghantui mereka yang berada dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan kecil).
Sebelum Ditarik Kopassus Masih Menculik
Selasa 18 Agustus 1998, dua nggota kopassus masih mencoba menculik keluarga salah satu korban di desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara, kendati pasukannya sudah akan ditarik dari Pidie ke Lhoksumawe. Korban penculikan itu adalah Muhammad Yunus Ahmad, korban penculikan 28 maret 1998 lalu yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di desa Nibong didatangi dua anggota kopassus ang mengendarai mobil Toyota Kijang bernomor polisi BK 1655 LR. Kopassus semula ingin mengangkut istri Yunus, Ny. Zubaidah Cut (37 tahun), tapi kebetulan sedang tidak ada di rumah. Karena kecewa, kopassus yang dari pos Sattis Billie Aron itu mengambil Ibu Ny. Zubaidah dan seorak anak Yunus yang masih berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny. Zubaidah, dua anggota kopassus itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu menunggu kedatangan Ny. Zubaidah.
Penduduk yang mengetahui penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah menunggu Ny. Zubaidah di simpang lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke rumah. Penduduk ekmudian membawa Ny. Zubaidah ke Sub Den-POM, Sigli. Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo mennelpon Koramil Mutiara agar mobil kijang kpassu itu ditahan.
Dua anggota koramil Mutiara dengan sepeda motor menahan dua anggota kopassus itu. Petugas koramil itu kemudian emnggiring mobil tersebut hingga ke koramil Mutiara. Namun, sebelum petugas POM datang ke koramil Mutiara, kedua anggota kopassus itu sudah kabur. "Saya akan cari mereka itu, saya belum tahu namanya. Bisa jadi mereka oknum atau cuak-cuak itu." kata Hartoyo.
Tidak Ada Lagi Jerit Kesakitan di Rumoh Geudong
Warga sekitar Rumoh Geudong (Rumah Gedung), markas kopassus yang dipakai sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang dilakukan kopassus. Perasaan lega msayarakat itu muncul seiring ditariknya pasukan ABRI dari selurh wilayah Aceh.
"Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kala malam tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan-jeritan orang yang tersiksa atau mendengar lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga desa Aron tempat markas kopassus itu berada. Kepergian kopassus dari Aron disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong mengeluh, kopassus meninggalkann tagihan jutaan rupiah untuk rekening telepon.
"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati," kata pemilik rumah itu. Selama Operasi Jaring Merah dilancarkan di wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk biaya operasional kopassus. Dana yang sbenarnya milik rakyat Pidie itu dipakai kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan dan sebagainya. "Tragisnya milik rakyat itu dipakai kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat." ujar seorang warga.
Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi 'neraka' bagi masyarakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh - Medan sungguh telah menggores luka berat. Tidak hanya masyarakat diluar Aceh, bahkan bagi masyarakat Acehpun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara telah melampaui akal sehat mereka.
Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak maret 1998 sampai DOM dicabut, Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau keamanan-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di pos Sattis selama tiga bulan dia telah menyiksa 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa ataupun di eksekusi di tempat ini, jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.
Saat tim komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak darah pada dinding-dinding rumah. Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tempat ini.
Namun, lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong, pembakaran rumah tersebut ternyata sejak 1945, pernah dicoba dibakar oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah den menyerang pelakunya. Dan entah setelah dijadikan sebagai pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.
Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad "Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang 'minta dibakar', karena tak ingin sejarahnya ternoda, kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian, sedangkan sejarah perjuangannya bisa-bisa dilupakan orang."
Inilah kisah tragis Rumoh geudong, Semoga kisah ini menjadi sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya.