Sifat orang aceh pidie Etnis Pidie dikenal cakap berdagang, tak hanya di seantero Aceh, namun meluas hingga ke seluruh Pulau Sumatra dan Jawa. Lebih dari itu, wilayah ini juga melahirkan tokoh-tokoh nasional, mulai dari pahlawan nasional Teuku Cik Di Tiro hingga tokoh kontroversial, sang cucu, Hasan Tiro.
Sekali waktu cobalah blusukan ke pasar-pasar tradisional dan kawasan niaga yang tersebar di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Amati dengan saksama para pelaku pasar, khususnya para pedagangnya.
|
Aceh pidie penghasil cowok ganteng nomor satu di Indonesia |
Ya, hampir semua pasar dan pusat niaga di 18 kecamatan itu dimonopoli oleh saudagar asli Pidie. Sebaliknya, etnis China yang dikenal lihai berdagang, hampir tak terlihat eksistensinya.
Di Sigli, ibu kota Pidie misalnya, hanya ada segelintir pedagang China. "Bahkan, di Pasar Beureunuen saya tidak menemukan pedagang China," ungkap Sudiarto, salah satu penulis buku berjudul Kota-kota di Sumatra (2012).
Padahal, kita tahu, Beureunuen adalah pasar terbesar di Kabupaten Pidie. Tak hanya itu, suku-suku lainnya di luar Aceh juga tak tampak menggelar barang dagangannya.
Atas kelihaian dan kemahiran pedagang Pidie inilah banyak orang menjulukinya sebagai China Hitam. Sebutan itu bisa ditafsirkan lantaran mereka mampu bersaing dengan saudagar China yang selama ini dikenal sebagai pedagang yang teliti dan cermat dalam berhitung.
Pidie Hebat
Pidie memang unik. Boleh saja etnis China menguasai bisnis dagangnya di Banda Aceh, Blang Pidie, dan Langsa, namun di Pidie, warga lokallah yang berjaya menggerakkan roda ekonomi perniagaan.
Saudagar Pidie tak cuma berjaya di kampung halamannya. Di luar wilayahnya itu mereka juga eksis melabarkan sayap perniagaannya. Kota-kota dan kabupaten di Aceh juga marak dengan pedagang Pidie.
Eksistensi mereka juga meluas hingga ke kota-kota besar di Pulau Sumatra. Bahkan, sebagian dari mereka merantau hingga ke Pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta. Di kawasan Pasar Minggu misalnya, tak sulit bagi kita untuk menemukan pedagang Pidie.
Unsur geografis dan historis boleh jadi menjadi salah satu penyebab mereka mahir menjadi saudagar. Secara geografis, Pidie sangatlah strategis. Bayangkan, kabupaten ini berada di jalur strategis yang menghubungkan Banda Aceh dan Medan, Sumatra Utara.
Dari Banda Aceh menuju Sigli (ibu kota Pidie) hanya berjarak 112 km dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Sedangkan dari Medan berjarak sekitar 496 km dan biasanya dapat dijangkau selama 10 jam perjalanan darat.
Jika dilihat secara historis, Pidie juga memiliki catatan sejarah yang fenomenal. Berada di tepi pantai Selat Malaka, jelas Pidie sangat strategis bagi pelayaran, baik domestik maupun internasional.
Sejarah mencatat, dulu Pidie pernah melayani jalur pelayaran internasional di jalur antara India dan China. Praktis, kawasan ini menjadi pusat perniagaan yang gemerlap. Kapal-kapal niaga terlihat hiruk-pikuk bongkar-muat barang dagangan di pelabuhan tersebut.
Kini, kondisinya berubah 180 derajat. Pidie tak lagi memiliki akses pelayaran internasional. Lebih ironis lagi, pelabuhan domestik juga tak dijumpai di sana. Pelabuhan internasional di kawasan Aceh kini beralih ke Malahayati (Banda Aceh), Sabang, Langsa, dan Lhokseumawe.
Kemerosotan infrastruktur juga terjadi pada jalur kereta api. Sebelum tahun 1971, Pidie dapat dijangkau dengan kereta api yang menguhubungkan Banda Aceh dan Medan.
Kini, rel itu tak lagi dilintasi kereta api. "Pernah ada rencana untuk mengaktifkan kembali, namun bencana tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004, mengurungkan niat tersebut," tutur Sudiarto.
Pidie Makmur Sejahtera
Jauh sebelum Indonesia dijajah kolonialis, Pidie adalah kota makmur dan sejahtera. Musafir China, Fa Hian, ketika singgah di kota tersebut pada tahun 413 Masehi bercerita mengenai kejayaan tersebut. "Poli (sekarang Pidie) adalah sebuah negeri yang makmur. Rajanya berkendara gajah, berpakaian sutra, dan bermahkota emas," ujar Hian.
Begitu juga penulis Inggris, Prof DGE Hall. Dia melukiskan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke-15. "Pedir (sebutan untuk Pidie) disinggahi 18–20 kapal asing setiap tahun," ungkap Hall.
Kapal-kapal itu memuat produk khas daerah tersebut (lada, kemenyan, dan sutra) untuk selanjutnya diekspor ke China dan negara-negara lainnya. Masyarakatnya juga dikenal piawai dalam membuat senjata api.
Saking ramainya, sejarawan lain mengatakan di sebuah jalan di dekat pelabuhan tersebut sekitar 500 orang berprofesi sebagai penukar mata uang asing. Pidie ketika itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual-beli.
Tak hanya itu, Pidie tempo dulu juga sudah menerapkan aturan hukum yang baik. Ahli sejarah kuno, Winstedt, menyebut Poli atau Pidie sebagai kawasan yang makmur dan jaya. "Setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli adalah bandar pelabuhan yang terkenal," ungkapnya.
Itulah gambaran sekilas betapa Pidie di masa lalu bergelimang kemakmuran. Ketika Belanda mulai menjajah Nusantara, tokoh Pidie juga tak tinggal diam. Teuku Cik Di Tiro, ulama ternama asal Pidie, maju di garis terdepan memimpin perjuangan melawan kolonialis tersebut.
Berkat kegigihan itu, kolonial Belanda dibuat repot dan kesulitan dalam memperluas wilayah jajahan di Bumi Serambi Mekah. Atas jasa-jasa membela Tanah Airnya itulah, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Teuku Cik Di Tiro sebagai pahlawan nasional.
Sesaat sebelum Indonesia memproklamasian kemerdekaan, tokoh Pidie lainnya, Teuku Muhammad Hassan, juga ikut berkontribusi mempersiapkan masa-masa indah bebas dari kungkungan penjajah. Ketika itu ia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro malah menjadi tokoh pemberontakan di bawah bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Cucu Teuku Cik Di Trio itu bersama rekan satu daerahnya, yakni ulama ternama Daud Beureueh, melakukan perlawanan dengan Jakarta.
Di luar tokoh kontroversial tersebut, Pidie juga melahirkan banyak tokoh nasional. Di masa Orde Baru hingga sekarang, misalnya, ada tiga putra Pidie yang diangkat menjadi menteri, yakni Ibrahim Hassan, Hasballah M Saad, dan Mustafa Abu Bakar.
Selain itu, di masa Orba yang menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan adalah Tengku Ismail Hassan Metareum, putra asli Pidie. Itulah Pidie. Kawasan ini melahirkan generasi multitalenta yang telah menorehkan sejarah berharga.
Pidie Menjadi Lumbung Padi bagi Aceh
Produktivitas padi di Pidie mencapai 7,31 ton per hektare (ha). Angka ini jauh melebihi hasil panen rata-rata, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Siapa saja yang ingin menanam padi, tak ada salahnya meniru kesuksesan para petani di Kabupaten Pidie. Bukan apa-apa, produktivitas padi di lahan pertanian Pidie jauh melebihi nilai rata-rata, baik di tingkat Provinsi Aceh maupun nasional.
Menurut data statistik daerah Kabupaten Pidie (2010), para petani Pidie mampu memanen padi dengan hasil sekitar 7,31 ton per ha dalam bentuk gabah kering giling (GKG) pada tahun 2009. Bandingkan dengan produktivitas rata-rata di Aceh yang hanya 4,33 ton per ha GKG. Sementara itu, produktivitas rata-rata nasional mencapai sekitar 5 ton per ha GKG.
Dengan luas panen sekitar 40.000 ha, Pidie dikenal sebagai lumbung padi bagi NAD. Sekitar 20 persen padi di Aceh berasal dari Pidie. Padi-padi itu berasal dari 76 persen warga Pidie yang bermata pencarian sebagai petani.
Di lahan perkebunan, mereka umumnya menanam kopi, kakao, pinang, dan kelapa. Berdasarkan catatan, sektor pertanian menjadi kontributor terbesar bagi produk domestik regional bruto (PDRB) Pidie, yakni sekitar 61 persen.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa tanaman penghasil lada dan kemenyan yang sempat berjaya di masa lalu tak lagi dikembangkan secara masif? Kata-kata mutiara Presiden Soekarno: Jasmerah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah, tampaknya patut direnungkan kembali.