Perang Muslim Aceh Melawan Kafir Belanda,Perang aceh melawan portugis,Akhir perang aceh,Penyebab perang aceh,Tokoh perang aceh.Pahlawan yang terlibat dalam perang aceh,Kronologi perang aceh
Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan diantara para pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau. demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873.
Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain berisi:
(a) Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka dan Singapura kepada Inggeris;
(b) Inggeris mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan Nias kepada Belanda;
(c) Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara itu.
Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, dimana dinyatakan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia.
Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk membuka perkebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntungan yang sangat menggiurkan.
Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada penguasa Hindia Belanda.
Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh menjadi sangat strategis.
Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh.
Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut diatas seperti keuntungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasilan menumpas perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan kolonialnya ke Aceh.
Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan Belanda E. de Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869. Hasil dari persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan laporan Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan politik yang mendesak harus dikuasai Belanda.
Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember 1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat menguntungkan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media massa di Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871, di mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang".
Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan".
Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer didengarkan baik Nederland maupun di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana."
Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus dilakukan. Setelah telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari London untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk opresai militer tersebut.
Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan operasi.
Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu batalyon 'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira-perwira Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan.
Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang pikul, narapidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulaunya sendiri. Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisional-operasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.
Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infantri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu. Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat; tentunya kalau orang mahir menggunakannya.
Dan inilah justru kekurangan batalyon-batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke-XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont, Batalyon ke-IX memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon yang terlatih baik. menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin menarik pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut-sertakan. Karena menurut dugaan, perang Aceh tidak akan sehebat itu.
Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai pasukan ekspedisi sebanyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap berlayar. Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar tua yang ditarik.
Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar.
Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat berangkat, Loudon dan Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda) sedikit masih samarsamar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwenhuyzen dengan pasukannya ke Aceh.
Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9 Maret 1873: "…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan. Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…"
Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari Menteri Fransen yang tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya tetap. Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, penyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian.
Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh.
"Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedihkan. Sebab Sultan yang naik tahta pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda.
Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdurrahman A1 Zahir sebagai Perdana Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di kalangan para hulubalang dan kaum bangsawan di istana kesultanan Aceh. Ia telah berhasil menghimpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-membahu membentuk pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.
Sikapnya yang tegas terhadap negara-negara asing, seperti diungkapkan dalam percakapannya dengan Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: "Aceh bersahabat dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh negaranegara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat persahabatan, tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultanan Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan?" Ilmu yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang maupun para ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awal-awal Perang Aceh," demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye.
Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh. Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal 'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: " ..... Kemudian daripada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar hendaknya negeri kami jangan dihancurkan".
Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van Antwerpen, yang berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seri paduka tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia mengakui kedaulatan sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat dihentikan atau tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen.
Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi : "Mengenai permakluman yang dimaksud dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kami tidak ada tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya seorang miskin dan muda dan kami sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…"
Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan.
Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh.
Di Den Haag sejak tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian. Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Frans van de Putte telah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.
Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April 1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian. Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain daripada semua perang yang terdahulu.
Bila di nusantara dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama, Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.
Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan didirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah.
Tetapi di mana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim'. Dalam kenyataannya, tempat sultan bersemayam paling-paling hanya beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan kampung Cina yang kecil.
Pada uraian ini di sertakan dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan menggunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan yang digambarkan. Keterangan-keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun.
Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di pihak pasukan Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng masjid itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam.
Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupakan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan Belanda kehilangan semangat