Gambar direkam sejak penghujung 2005 saat berkunjung ke Museum Negeri Aceh di Banda Aceh.Sudah hampir genap 10 tahun dengan demikian.Kemarin malam,saya dan Tuan Panglima Maharadja Sjahbandar berbincang-bincang mengenai kalung perhiasan peninggalan sejarah Aceh Darussalam.Dua buah kalung yg tersimpan dalam koleksi Teungku Harun di Banda Aceh ternyata mirip dengan satu kalung yg pernah saya lihat dalam koleksi Museum Negeri Aceh.Salah satu keunikan kalung-kalung itu ialah karena memiliki koin-koin berinskripsi nama-nama sultan dan sultanah Aceh.
Dalam pada saat saya memeriksa gambar-gambar yg telah direkam sejak akhir 2005 itu, saya kembali melihat gambar dua ukiran kayu yg dipasang pada dinding Rumoh Aceh (Rumah Cut Nyak Dien) dalam kompleks Museum Negeri Aceh.Kali ini saya mengamatinya agak lama sebab saya juga ingin menghibur diri dengan gambar-gambar itu.Dan setelah mengamatinya,saya baru tahu bahwa kedua ukiran kayu tersebut ternyata memiliki informasi sejarah yg begitu berharga.Saya tidak pernah menyangka, dan menyesal telah mengabaikannya untuk sekian lama.Hampir genap 10 tahun berada dalam arsip dokumen saya tapi tidak pernah saya beri perhatian.Benar-benar sebuah keteledoran, ucap saya membenak!
Dua ukiran kayu itu tampaknya telah dipindahkan dari tempat aslinya lalu dipasangkan pada tempatnya yg sekarang dalam Rumoh Aceh di Museum Negeri Aceh,Banda Aceh.Di mana tempat aslinya dan bagaimana riwayatnya sampai terpasang di sana,saya juga tidak memiliki informasi apa-apa tentang itu.Tapi keberadaannya di sana,yang jelas,memang untuk tujuan dipamerkan kepada para pengunjung Rumoh Aceh di Museum.
1.
هذا سمرهان (؟) الولي الشيخ دليل الله من بيت المقدس
له كرامات كثيرة معلومة عند الموفقين
Terjemahan :
Inilah Samarhan (?) Wali (Waliyullah) Syaikh Dalilu-Llah dari Baitul Maqdis
Ia memiliki karamah yg sangat banyak lagi telah dimaklumi oleh orang-orang yg telah diberikan taufiq (kemudahan untuk menyaksikan karamah-karamah tersebut)
2.
هذه دفني فقيه القبة الشيخ الصالح عبد الرحمن ابن س (؟)
وابنه محمد صالح وقد مضى من هجرة النبي ألف ومائتين وسبعة و أربعون
Inilah dua tempat tersembunyi (pengasingan diri) ahli fiqih di kubah,syaikh yg shalih ‘Abdur Rahman bin “sin” (?)
Dan putranya Muhammad Shalih,dan telah berlalu semenjak hijrah Nabi (Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam) seribu dua ratu empat puluh tujuh (1247).
Komentar :
Dalam ukiran 1,bacaan terbaik saya untuk kata setelah “hadza” adalah “Samarhan”. Saya tidak berhasil menemukan kata ini serta maknanya dalam kepustakaan yg saya miliki, namun kuat dugaan,kata ini berasal dari bahasa Persia (samar-haun?)yg berarti lubang kosong.Saya kira yg dimaksudkan dengan “samarhan” ini adalah semacam bekas lubang dangkal dan rata (tapak) pada sebuah batu yg telah digunakan oleh ulama sufi ini untuk tempat beribadah atau khalwah.Secara fonetik,kata “samarhan”memang dekat dengan kata “samahani”,namun apakah hal ini dapat berarti sesuatu?Ini juga belum dapat diketahui.
Dari komentar di atas dapat dipahami bahwa ukiran kayu ini pada mulanya telah dipasang sebagai penanda bekas tempat yg ditinggalkan oleh seorang ulama sufi bernama Syaikh Dalilu-Llah.Penanda ini jelas diperlukan oleh para peziarah yg berkunjung ke tempat Syaikh sekaligus juga sebagai suatu penghormatan kepadanya.
Model tulisan dan corak kaligrafi pada kedua ukiran ini sama dan karena itu dapat dikatakan berasal dari era yg sama pula.Dari ukiran 2,diperoleh penanggalan 1247 hijriah (1831 M), dan dengan demikian, ukiran 1 juga dapat diperkirakan telah dibuat di sekitar tahun tersebut .
Tentang tokoh yg disebut pada inskripsi ukiran 1 ialah seorang ulama sufi dan waliyu-Llah yg dikenal dengan nama Syaikh Dalilu-Llah.Diterangkan secara jelas pula bahwa Syaikh Dalilu-Llah ini berasal dari Baitul Maqdis di Palestina,dan banyak orang telah menyaksikan bahwa Syaikh adalah seorang hamba Allah yg shalih dan memiliki karamah-karamah. Perlu saya tambahkan pula di sini bahwa kebiasaan para sultan atau raja mendekati dan menghormati para auliya’ Allah yg shalih adalah suatu hal yg sudah makruf dalam sejarah Islam. Para penguasa meminta hamba-hamba Allah yg shalih ini untuk mendoakan dan merestui mereka, itu juga sudah merupakan hal kerap ditemui dalam sejarah Islam. Maka, dari papan penanda yg dipasangkan pada bekas peninggalannya dapat dipahami pula bahwa Syaikh Dalil-Llah yg berasal dari Baitul Maqdis ini merupakan seorang tokoh ulama sufi yg dihormati dan dimuliakan dalam Kerajaan Aceh Darussalam baik semasa hidupnya maupun setelah ia berpulang ke Rahmatu-Llah.
Kabar yang diberikan ukiran 1 mengenai Syaikh Dalilu-Llah tentu saja terbatas sesuai kegunaannya, namun sudah sangat berharga sekali sebab telah memberitahukan keberadaan tokoh penting ini.Mengenai biografi Syaikh Dalilu-Llah,mulai lahir sampai wafatnya, jelas belum dapat saya ketahui sampai dengan ditemukan dokumen lain,dan sangat boleh jadi ia telah hidup jauh lebih awal dari abad ke-13 H atau ke-19 M.Kemudian, apakah ada sangkut paut tokoh dari Baitul Maqdis ini dengan penamaan Baitul Maqdis untuk sebuah daerah yg hari ini dikenal dengan Gampong Bitai,di Banda Aceh, sebagaimana diceritakan secara turun-temurun? Apakah papan penanda berukir ini justru telah diambil dari Masjid Teungku Chik di Bitai? Semua ini menarik untuk ditelusuri.
Sama halnya dengan ukiran 1, ukiran 2 juga merupakan penanda untuk jejak yg ditinggalkan oleh dua tokoh penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Kata “Difnai” setelah “hadzihi” adalah bentuk mutsanna (ganda) dari “difn” yang dalam bahasa Arab berati sumur, kolam atau semisalnya yg telah tertutup oleh pasir (tersembunyi). Secara terang dapat dipahami bahwa yg dimaksud dengan difn atau difnai di sini adalah dua tempat di mana kedua tokoh yg disebutkan dalam ukiran 2 telah mengasingkan diri untuk beribadah (tahannuts/khalwah) sebagaimana yg dilakukan Rasulullah Shalla-Llah ‘alaihi wa Sallam di Gua Hira’ pada bebrapa tahun sebelum kenabian ; tempat di mana telah diturunkan wahyu pertama. Sebagaimana ukiran 1, ukiran 2 juga pada mulanya merupakan papan penanda pada sebuah tempat yg sengaja dipasangkan untuk kepentingan para peziarah, dan papan penanda itu telah dibuat pada tahun yg dicantumkan, yaitu 1247 H (1831 M).
Dua tempat khalwah ini tampaknya berada di satu tempat dengan satu papan penanda,dan masing-masingnya adalah milik Syaikh ‘Abdur Rahman bin Sin putranya Syaikh Muhammad Shalih.Tentang kedua tokoh ini juga belum diketahui,namun inskripsi menyebutkan Syaikh yg shalih ‘Abdur Rahman dikenal atau digelar dengan “Faqih Al-Qubbah”.Faqih berarti ahli fiqh (hukum Islam), dan qubbah adalah kubah masjid.Atau apa mungkin yg dimaksud adalah Qubbah Ash-Shakhrah di Baitul Maqdis juga,Wa-Llahu A’lam.Barangkali saya boleh berasumsi bahwa gelar Faqih Al-Qubbah ditabalkan kepada Syaikh ‘Abdur Rahman adalah karena ia selalu mengajar,memberi fatwa dan mengadili di bawah kubah sebuah masjid (Masjid Baitur Rahman?).
Baca Juga:Kapan Ka'bah Pertama Kali Dibangun
Terlepas dari itu,yang jelas,gelar Faqih Al-Qubbah telah menunjukkan bahwa ia seorang tokoh utama yang menjadi rujukan dalam Kerajaan Aceh Darussalam dan juga seorang ulama sufi. Sayang sekali, nama ayahnya tidak dapat dimuat secara lengkap pada ukiran tersebut dan hanya disingkat dengan huruf “Sin”.Sementara tentang putranya,Muhammad Shalih,juga dapat diyakini sebagai seorang ulama sufi yg telah mengikuti jejak ayahnya sekalipun untuknya tidak disebutkan gelar keilmuan sebagaimana ayahnya yg “Faqih Al-Qubbah”.
Demikianlah uraian singkat mengenai kedua ukiran yg terdapat dalam Rumoh Aceh di Museum Negeri Aceh,Banda Aceh,ini.Berbagai tambahan lain serta perbaikan akan diterlihat dalam postingan selanjutnya.