KEBUDAYAAN ACEH DAN SEJARAHNYA
ASAL MULA NAMA ACEH
Aceh adalah nama sebuah Bangsa yang mendiami ujung paling utara pulau
sumatera yang terletak di antara samudera hindia dan selat malaka.
Aceh merupakan sebuah nama dengan berbagai legenda dan mitos , sebuah
bangsa yang sudah dikenal dunia internasional sejak berdirinya kerajaan
poli di Aceh Pidie dan mencapai puncak kejayaan dan masa keemasan pada
zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa pemerintahan Sulthan Iskandar
Muda hingga berakhirnya kesulthanan Aceh pada tahun 1903 di masa Sulthan
Muhammad Daud Syah.
Dan walau dalam masa 42 tahun sejak 1903 s/d
1945 Aceh tanpa pemimpin, Aceh tetap berdiri dan terus berjuang
mempertahankan kemerdekaannya dari tangan Belanda dan Jepang yang
dipimpin oleh para bangsawan, hulubalang dan para pahlawan Aceh seperti
Tgk Umar, Cut Nyak Dhien dan lain-lain dan juga Aceh mempunyai andil
yang sangat besar dalam mempertahankan Nusantara ini dengan pengorbanan
rakyat dan harta benda yang sudah tak terhitung nilainya hingga Aceh
bergabung dengan Indonesia karena kedunguan dan kegoblokan Daud Beureueh
yang termakan oleh janji manis dan air mata buaya Soekarno.
Banyak sekali tentang mitos tentang nama Aceh, Berikut beberapa mitos tentang nama Aceh :
1. Menurut H. Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh
sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi
salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang
kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa kemudian membuat wajah
Aceh semakin majemuk. Sepeti dikutip oleh H.M. Said (Pengarang Buku
Aceh Sepanjang Abad) catatan Thomas Braddel yang menyebutkan, di zaman
Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar
Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu.
Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan
mereka peroleh dari orang Arab Saba.Orang-orang Arab Saba mengangkut
rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan
dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka,
rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.
2. Raden
Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku
Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum
abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh
sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.
3. HM. Zainuddin
(1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa
Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante), Lanun,
Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang
berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua
bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia
dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa
Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung
Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung
tersebut di atas Seulimum, antara Jantho danTangse. Seumileuk artinya
dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi
penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke
tempat-tempat lainnya. Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut
”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok
menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama
sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang Melayu
menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah
pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara
India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama
Bar atau Rama Bari.
4. Rouffaer, salah seorang penulis sejarah,
menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah
dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih
suka menyebut orang Aceh dengan Acehm.
5. Sementara orang Arab
menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan
Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen,
Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein,
Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu
menyebutnya Atjeh.
7 KOMPONEN BUDAYA :
1. Macam-Macam Bahasa Aceh
• Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa
Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya,
yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa
Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur
asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota
Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh
Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang.
Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten
Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng,
Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten
Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian
kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi
NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok
masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa
ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di
Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di
Australia.
• Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu
bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini
cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa
Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang
mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara,
dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar
masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan
merdu dari syair-syair kesenian didong.
• Bahasa Alas
Bahasa ini
kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat
etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh
Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di
sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat
penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang
menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan,
yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan
Bandar.
• Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh
disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu
yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah
kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan
wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran,
yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini
cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
• Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh)
dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang
mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh
Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie
dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling
banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji,
Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil
masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan
Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan
Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa
Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari
asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah
pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan,
yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna
‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa
ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu
masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari
bahasa Minang.
• Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu
bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet
Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet,
terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas.
Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri,
tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali
masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini
untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu
saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam
bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita
pendek, dan bahkan puisi.
• Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa
Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk
penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi
sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena
kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang
menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa
Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga
bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di
wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami
Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi
sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa
komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain
bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat
Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang
paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
• Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah
satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten
Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama
sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan
bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah
penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk
kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai,
dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam
catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
• Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan
bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya
sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue,
menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan
salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue:
mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa
daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai
tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut
juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di
kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue.
misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa,
yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu
dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur,
Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai
yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan
kecamatan Salang.
2. KARYA / SENI
Salah satu tradisi
turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas
lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau
sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang
lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai
nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian.
Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh
diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola
(mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni
yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok
tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja,
atau dalam dalam perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat
"Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara", maka Kesenian Aceh
secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat.
Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain; bernafaskan islam,
ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif
banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari
tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal
pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara
dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi).
Kesenian Aceh
dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini
dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara.
Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial
budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat
agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang
berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai
uroh maupun rapai geleng, Rampou Aceh dan seudati.
Sementara seni yang
berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines
dan ale tunjang.
Contoh kesenian :
1. Seni Lukis : Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupikan salah satu kesenian yang ada dalam suku
aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang
bertujuan sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan
melukiskan Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat
pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan
sebagainya.
2. Seni Pahat : Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni
pahat yang ada pada suku aceh adalah memahat hiasan pada rumah adat
atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat menunjukkan
kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni pahat yang
diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang dikuburkan, dan
juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal wafat dari tokoh
yang dikuburkan.
3. Seni Musik : Rapai Geleng
Rapai geleng
merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas laki-laki/perempuan
yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud ketika
melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil bernyanyi
bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa. Awalnya
lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi dengan
gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan kekanan. Mereka
menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang
bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.
4. Seni Tari : Tari Saman
Tarian ini merupakan salah satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian
ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan,
kekompakan dan kebersamaan. dilakukan dalam posisi duduk berbanjar
dengan irama dan gerak yang dinamis. Suatu tari dengan syair penuh
ajaran kebajikan, terutama ajaran agama Islam.
3. TEKNOLOGI
Barang – Benda (Material Culture)
Alat-alat musik
a. Serune Kalee / Seruling Aceh
Serune Kalee merupakan instrumen tradisional Aceh yang telah lama
berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Biasanya alat musik ini
dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara hiburan,
tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa
kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna
dasarnya hitam yang fungsi sebagai pemanis atau penghias musik
tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengangeundrang dan
Rapai merupakan suatu perangkatan musik yang dari semenjak jayanya
kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap menghiasi/mewarnai
kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
b. Rapai / rebana
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang.
Bentuknya seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda.
Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring
kesenian tradisional.
c. Geundrang / gendang
Geundrang
merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang
termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan
tangan atau memakai kayu pemukul. Fungsi Geundrang nerupakan alat
pelengkap tempo dari musik tradisional etnik Aceh.
d. Tambo / tambur
Sejenis gendang yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan
Bak Iboh, kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini
dimasa lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menentukan waktu
shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat ke Meunasah guna
membicarakan masalah-masalah kampung. Sekarang jarang digunakan (hampir
punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi microphone.
e. Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini
berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain yang mengancam
tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan
dihubungkan dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di
sawah).
f. Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat
dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada yang terbatas, banyaknya nada
yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung dari teknik meniupnya. Fungsi
dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada
dihutan/berjauhan9
tempat antara seorang dengan orang lainnya.
Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan orang, diperkirakan telah
mulai punah penggunaannya.
Rumah Adat : Rumoh Aceh
Rumah
adat Aceh terbuat dari kayu meranti dan berbentuk panggung mempunyai 3
serambi yaitu Seuranmoe Keu, Rumah Inong dan Seuramoe Likot.
Seni / Ragam Hias : Pilin Berganda
Seni hias Aceh umumnya mamakai bentuk-bentuk ilmu ukur, tumbuh-
tumbuhan atau ruang angkasa (kosmos). Ragam Pilin berganda terdiri dari
susunan huruf S berdasarkan ilmu ukur. Seni ukir dan seni tenun Aceh
menggunakan bentuk tumbuhan.
Pakaian Adat
Pakaian adat
yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup, celana
panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang disebutpendua.
Kopiah yang dipakainya disebut makutup dan sebilah rencong terselip di
depan perut. Wanitanya memakai baju sampai ke pinggul, celana panjang
cekak musang serta kain sarung sampai ke lutut. Perhiasan yang dipakai
berupa kalung yang disebutkula,pending, gelang tangan dan gelang kaki.
Pakaian ini dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Senjata
Rencong adalah senjata tradisional yang dipakai oleh hampir setiap
penduduk Aceh. Wilahan rencong terbuat dari besi dan biasanya
bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Selain rencong, suku Aceh juga
menggunakan, reuduh, keumeurah paneuk, peudang, dantameung.
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
4. MATA PENCAHARIAN
Setiap orang untuk yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung
hidupnya. Dalam suku aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar dari
mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang
bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak
sedikit juga yang berdagang.
Mata pencaharian pokok suku aceh
adalah bertani di sawah dan ladang dengan tanaman pokok berupa padi,
cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain. Disamping bertani, masyarakat
suku aceh juga ada yang beternak kuda, kerbau, sapi dan kambing yang
kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau di jual.
Untuk
masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka menjadi
nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama makanan
sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang, mereka
melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya
dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.
5. SISTEM AGAMA
Suku Aceh adalah pemeluk agama islam dan mereka tidak mengenal dewa-
dewa. Kepercayaan agama lainnya hanya berkembang di kalangan para
pedagang. Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima
agama Islam. Oleh 10 sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan
"Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara
Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun
demikian kebudayaan asli suku Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya
beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan
kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut
melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas.
Simbol yang
digunakan pada suku aceh adalah rencong, karena gagangnya yang melelekuk
kemudian menebal pada bagian sikunya merupakan huruf hijaiyah ”BA”,
gagang tempat genggaman berbentuk huruf hijaiyah ”SIN”, bentuk lancip
yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan huruf
hijaiyah ”MIM”, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya
merupakan huruf hijaiyah ”LAM”, dan ujung yang runcing sebelah atas
mendatar dan bagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan huruf
hijaiyah ”HA”. Dengan demikian rangkaian dari huruf tersebut mewujudkan
kalimat ”BISMILLAH”. Ini berkaitan dengan jiwa kepahlawanan dalam bentuk
senjata perang untuk mempertahankan agama Islam dari penjajahan orang
yang anti Islam.
Mitos yang terdapat di dalam suku aceh adalah
memelihara burung hantu. Karena orang-orang suku aceh meyakini bahwa
jika salah satu diantara mereka memelihara burung hantu, berarti orang
tersebut sedang menyekutukan Allah SWT. Sebab, suara kukukan burung
hantu adalah pertanda untuk memanggil makhluk- makhluk gaib.
Di
dalam suku aceh terdapat beberapa ritual agama, yaitu intat bu pada saat
ibu sedang hamil, peutron aneuk pada saat bayi sudah lahir, danpeus
ijuek. Intat bu adalah ritual yang dilakukan untuk wanita hamil dengan
memasak makanan yang disukai oleh wanita tersebut. Peutron Aneuk adalah
ritual untuk bayi yang baru lahir dengan memberikan cermin kepada
bayinya agar anaknya menjadi ganteng atau cantik, memberikan madu
dibibir agar anaknya terlihat manis oleh semua orang. Peusijuk adalah
ritual untuk anak yang baru disunat dengan memercikan air dari danau
laut tawar dengan campuran bunga 7 rupa menggunakan 7 helai daun pandan,
kemudian disebarkan beras yang sudah ditumbuk menjadi tepung ke anak
yang baru disunat. Ritual ini bertujuan agar Allah SWT memberikan
keberkatan dan rezeki kepada anak tersebut.
Masyarakat suku aceh
sangat mempercayai dan meyakini akan ajaran agama Islam. Mereka memegang
teguh keyakinan tersebut. Di samping itu, mereka sangat menghormati dan
menghargai para Ulama sebagai pewaris para Nabi. Sehingga ketundukan
ulama melebihi ketundukan pada para raja.
6. ORGANISASI SOSIAL
Status
Pada masa lalu masyarakat suku Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu :
• golongan keluarga sultan : keturunan bekas sultan-sultan yang pernah
berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon,
dan cut.
• golongan ulee balang : keturunan dari golongan keluarga sultan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
• golongan ulama : keturunan pemuka agama. Biasanya mereka bergelar Teungku atau Tengku.
• golongan rakyat biasa : keturunan suku aceh biasa.
Sistem organisasi sosial suku Aceh tidak begitu terlihat lagi bila di
bandingkan dengan zaman kemerdekaan.
Pelapisan sosial yang terdapat di
Aceh pada zaman sebelum merdeka lebih di dasarkan oleh faktor keturunan.
Setelah kemerdekaan dasar - dasar pelapisan sosial mulai bergeser dan
berubah polanya.
Secara umum pelapisan sosial suku Aceh sekarang sebagai
berikut:
• Golongan penguasa : terdiri penguasa pemerintah dan penguasa pegawai negri.
• Golongan hartawan : terdiri dari pedagang besar, pemilik perkebunan, dan pemilik ternak.
• Golongan rakyat : terdiri dari petani miskin, nelayan, buruh, dan pegawai rendahan.
Sistem Keluarga
Dalam sistem keluarga, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah
keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah
menikah bersifat matrilokal. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab
ayah sepenuhnya.
Pernikahan
Dalam sistem pernikahan
tampaknya terdapat kombinasi antara budaya Minangkabau dan Aceh. Garis
keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat
menetap sesudah nikah adalah uxorilikal. Kerabat pihak ayah mempunyai
kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik
mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil
adalah keluarga inti yang disebut rumoh tanggo. Ayah berperan sebagai
kepala keluarga yang mempunyai kewajiban memenuhi kebutuhan
keluarganya.Tanggung jawab seorang ibu yang utama adalah mengasuh anak
dan mengatur rumah tangga.
Sistem politik dan pemerintahan
Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gam pong yang
dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada
sebuah meunasah yang dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari
beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin oleh seorang imam mukim.
Kehidupan sosial dan keagamaan di setiapgam pong dipimpin oleh pemuka-
pemuka adat dan agama, mengurusi masalah - masalah keagamaan, seperti
hukum atau syariat Islam dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk
kelompok elite religius. Oleh karena itu, para ulama ini mengurusi
hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah Ureung Nyang
Malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat / sebutan ulama
itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli pengetahuan.
Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebutkan, yaitu Imam
Mukim, Qadli, Teungku / teuku.
7. SISTEM PENGETAHUAN
Suku
Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang fauna, flora,
bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka mengetahui dan
memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, yaitu tentang tradisi bahasa
tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi
atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu (gambar
terlampir). Pada masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama,
pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada
makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal
setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih
bisa membaca huruf Jawi.