...
Riwayat Tengku Hasan Muhammad Ditiro | Aceh Pidie Sigli Nanggroe Aceh Darussalam
Riwayat Tengku Hasan Muhammad Ditiro - Aceh Pidie Sigli Nanggroe Aceh Darussalam
loading...
Riwayat Tengku Hasan Muhammad Ditiro
Kisah Perjuangan Tgk Hasan Muhammad DiTiro pidie
Pagi Itu adalah kisah awal.
Perahu yang ditumpangi Hasan Tiro dari Malaysia merapat di Pasi Lhok, sebuah
desa nelayan di pantai utara Aceh. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan
ke arah timur.
Sekitar pukul 6.00 sore Tgk Hasan Tiro tiba di Kuala Tari. Sekelompok laki-laki
yang dipimpin M. Daud Husin telah menunggu kehadirannya. Malam itu juga mereka
berangkat menuju Gunung Seulimeun.
“Itu adalah malam pertama di tanah air setelah selama 25 tahun aku tinggal di
pengasingan di Amerika Serikat,” tulis Hasan Tiro dalam bukunya The Price of
Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro yang diluncurkan tahun
1984.
Itu adalah kunjungan rahasia dengan misi tunggal memerdekakan Aceh.
“Tak ada seorang pun di negeri ini yang mengetahui kedatanganku,” tulis Hasan
Tiro.
“Aku sudah lama memutuskan bahwa Deklarasi Kemerdekaan Aceh Sumatera harus
dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis. Itu
adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera,
Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911.
Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai
entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh
Sumatera.”
Jadi begitulah, di Bukit Cokan dia menuliskan Deklarasi Kemerdekaan Aceh,
melanjutkan perjuangan Tengku Cik di Tiro dan para leluhurnya. Dan tanggal 4
Desember 1976 deklarasi kemerdekaan itu pun dibacakan.
“Kami, rakyat Aceh, Sumatera, menggunakan hak kami untuk menentukan nasib
sendiri dan melindungi hak sejarah kami akan tanah air kami, dengan ini
menyatakan bahwa kami merdeka dan independen dari kontrol politik rejim asing
Jakarta dan orang asing dari Pulau Jawa. Tanah Air kami, Aceh, Sumatra, selalu
merdeka dan independen sebagai Negara yang Berdaulat sejak dunia diciptakan…”
Catatan: Teks di atas merupakan paragraph pertama dari Deklarasi Kemerdekaan
Aceh yang saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dari buku The Price of
Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. Teks asli adalah sebagai
berikut:
“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of
self-determination, and protecting our historic
right of eminent
domain to our fatherland, do hereby declare
ourselves free and
independent from all political control of the
foreign regime of
Jakarta and the alien people of the island of Java.
Our
fatherland,
Acheh, Sumatra, had always been a free and independent
Sovereign State since the world begun…”
Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah yaitu lahir di Tiro
25 September 1925. Dia memperoleh gelar doktor di bidang hukum internasional
dari Colombia University. Di negeri itu ia menikah dengan Dora seorang wanita
Amerika Serikat keturunan Yahudi. Di masa-masa itu pula Hasan Tiro pernah
bekerja di KBRI dan membangun jaringan bisnis di bidang petrokimia, pengapalan,
penerbangan, dan manufaktur hingga ke Eropa dan Afrika. Hasan Tiro juga
menjelaskan hal ini dalam bukunya The Price of Freedom.
Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia di
masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Hasan Tiro
memprotes tindakan itu. Bulan September 1954 dia mengirimkan sepucuk surat
kepada sang perdana menteri
Kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia, Hasan Tiro kemudian meninggalkan
KBRI. Dia bergabung dengan DI/TII Aceh yang dideklarasikan mantan Gubernur
Militer Aceh (1948-1951) Daud Beureuh tanggal 20 September 1953 sebagai bagian
dari Negara Islam Indonesia (NII) yang dideklrasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Tasikmalaya, 7 Agustus 1949. Di DI/TII Aceh
Hasan Tiro menjabat sebagai menteri luar negeri, dan karena jaringannya yang
dianggap luas di Amerika Serikat dia pun mendapat tugas tambahan sebagai
“dutabesar” di PBB.
Setidaknya ada beberapa sebab praktis yang ikut mendorong pemberontakan DI/TII
yang secara bersamaan terjadi di tiga propinsi, Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi
Selatan. Pertama berkaitan dengan rasionalisasi tentara. Banyak tentara dan
laskar rakyat yang ikut berjuang dalam perang revolusi tidak dapat diakomodasi
sebagai tentara reguler. Kedua, pemberontakan ini juga merupakan ekspresi
kekecewaan terhadap hubungan pemerintahan Sukarno yang ketika itu semakin dekat
dengan kubu komunis.
Di tahun 1961 Daud Beureuh mengubah Aceh menjadi Republik Islam Aceh (RIA).
Tetapi di saat bersamaan, gerakannya mulai melemah setelah SM Kartosoewirjo
dilumpuhkah. Adapun Kahar Muzakar dinyatakan tewas dalam sebuah pertempuran di
belantara Sulawesi tahun 1965.
Ada Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M. Jassin, yang berhasil meyakinkan
Daud Beureuh untuk kembali bergabung dengan Republik Indonesia. Tanggal 9 Mei
1962 Daud Beureuh ditemani antara lain komandan pasukannya yang setia, Tengku
Ilyas Leube, pun turun gunung. Bulan Desember perdamaian dirumuskan dalam
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh.
setelah pemberontakan DI/TII melemah, Hasan Tiro ikut melunak. Pertengahan 1974
dia kembali ke Aceh. Dalam pertemuan dengan gubernur Aceh saat itu, Muzakir
Walad, Hasan Tiro meminta agar perusahaannya bisa menjadi kontraktor
pembangunan tambang gas di Arun.
Tapi Muzakkir Walad tak dapat memenuhi permintaan ini. Bechtel Inc., sebuah
perusahaan dari California, Amerika Serikat, telah ditunjuk pemerintahan Orde
Baru Soeharto sebagai kontraktor pembangunan pabrik gas Arun.
Tgk Hasan Muhammad ditiro kembali kecewa. Baginya, ini adalah bukti bahwa janji otonomi daerah
dan hak daerah mengelola sumber alam hanya bohong belaka.
Kekecewaannya pun semakin bertambah setelah syariat Islam yang dibicarakan
dalam konsep “Prinsipil Bijaksana” antara Daud Beureuh dan pemerintah pusat tak
kunjung dilaksanakan.
Tgk Hasan muhammad Tiro kembali menggalang kekuatan, mengambil alih posisi puncak dari
tangan Daud Beureuh yang saat itu sudah turun dari panggung politik Aceh. Dia
menghubungi tokoh penting mantan anggota DI/TII seperti Teungku Ilyas Leube,
yang dikenal sebagai salah satu pengikut setia Daud Beureueh. Juga Daud Paneuk.
Tak lama manuver Hasan Tiro tercium oleh tentara. Operasi militer disiapkan
untuk menangkapnya. Tetapi Tiro berhasil melarikan diri, pulang ke Amerika
Serikat.
Sebelum meninggalkan Aceh dia berjanji akan kembali datang untuk menyusun
kekuatan yang jauh lebih besar. Dan begitulah, akhirnya kaki Hasan Tiro kembali
menginjak Aceh di pagi hari, 30 Oktober 1976
Perjalanan Hidup
Hasan Tiro adalah Anak kedua pasangan Tengku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah
ini lahir di Tiro 25 September 1925.
Hasan Tiro pertamanya nya yaitu seorang yang sangat nasionalis. Jauh sebelum
mengobarkan perang total dengan Indonesia. Karena jenius,dan pintar dalam berbagai hal, Hasan Tiro
direkomendasikan Teungku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Indonesia waktu
itu, Syafruddin Prawiranegara, untuk kuliah di UII. Hasan Tiro diterima di
Fakultas Hukum dan tamat tahun 1949
.
Di universitas ini namanya tercatat sebagai pendiri Pustaka UII bersama Kahar
Muzakkar, tokoh Sulawesi Selatan yang kelak menggerakkan pemberontakan DI/TII
bersama Daud Beureueh dan Imam Kartosuwiryo (1953-1962)
.
Lulus dari UII, ia kemudian mendapat beasiswa dari pemerintah Indoensia untuk
melanjutkan pendidikany a ke Amerika Serikat. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum
International di Universitas Columbia. Setelah menyelesaikan program doktor ia
masih sempat bekerja di KBRI di Amerika.
Pada tahun 1953, Aceh diguncang pemberontakan Darul Islam, yang dipimpin
langsung oleh Teungku Daud Beureueh, Aceh melawan Jakarta, karena Soekarno
dianggap ingkar janji
.
Dan Pandangan politiknya mulai berbalik 180 derajat ketika pemerintah Indonesia
di masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjo (1953-1955) mengejar pasukan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga ke pedalaman Aceh. Menurut salah
satu surat kabar di New York bahwa sekitar 92 warga sipil di Pulot, Cot Jeumpa
Leupung, Aceh Besar, dibantai serdadu republik pada 26 Februari 1954. Ini ekses
akibat ditembaknya belasan prajurit Indonesia oleh mujahidin DI/TII Aceh dua
pekan sebelumnya. Karena para mujahid sudah menghilang dari kawasan itu, maka
warga sipillah yang dijejerkan di pinggir laut, lalu ditembak mati. Hanya satu
yang tersisa hidup. Ia pula yang membeberkan pembantaian sadis itu kepada Acha,
wartawan Harian Peristiwa. Asahi Simbun, Washington Post, dan New York Times
ikut melansir berita tersebut
.
Dari kota “melting pot” New York, spontan ia layangkan surat pada 1 September
1954 kepada Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo. Ia desak Indonesia
untuk segera minta maaf dan mengakui bahwa pembantaian warga sipil tersebut
merupakan genosida (pembantaian etnis Aceh). Para pelaku dimintanya agar
dihukum berat
.
Menurut Hasan Tiro persoalan yang dihadapi Indonesia sesungguhnya bukan tidak
bisa dipecahkan, tetapi Ali Sastroamidjojolah yang mencoba membuatnya menjadi
sukar. Menurutnya jika Ali Sastroamidjojo mengambil keputusan untuk
menyelesaikan pertikaian politik tersebut dengan jalan semestinya, yakni
perundingan, maka keamanan dan ketentraman akan meliputi seluruh tanah air
Indonesia pada saat itu
.
Oleh karena itu, demi kepentingan rakyat Indonesia Hasan Tiro menganjurkan Ali
Sastroamidjojo mengambil tindakan: Pertama, Hentikan agresi terhadap rakyat
Aceh, rakyat Jawa Barat, Jawa Tengah, rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
dan rakyat Kalimantan. Kedua, Lepaskan semua tawanan-tawanan politik dari Aceh,
Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
dan rakyat Kalimantan. Ketiga, Berunding dengan Teungku Muhammad Daud Beureuh,
S.M. Kartosuwirjo, Abdul Kahar Muzakar, dan Ibnu Hajar. Jika sampai pada
tanggal 20 September 1954, anjuran-anjuran ke arah penghentian pertumpahan
darah ini tidak mendapat perhatian Ali Sastroamidjojo, maka untuk menolong
miliunan jiwa rakyat yang tidak berdosa yang akan menjadi korban keganasan
agresi yang Ali Sastroamidjojo kobarkan, Maka Hasan Tiro dan putera-puteri
Indonesia yang setia, akan mengambil tindakan-tindakan berikut:
Pertama, Kami akan membuka dengan resmi perwakilan diplomatik bagi Republik
Islam Indonesia di seluruh dunia, termasuk di PBB, benua Amerika, Asia dan
seluruh negara-negara Islam.
Kedua, Kami akan memajukan kepada General Assembly PBB yang akan datang segala
atas kekejaman, pembunuhan, penganiayaan, dan lain-lain pelanggaran terhadap
Human Right yang telah dilakukan oleh regime Komunis–Fasis Ali Sastroamidjojo
terhadap rakyat Aceh. Biarlah forum Internasional mendengarkan
perbuatan-perbuatan maha kejam yang pernah dilakukan di dunia sejak zamannya
Hulagu dan Jenghis Khan. Kami akan meminta PBB mengirimkan komite ke Aceh. Biar
rakyat Aceh menjadi saksi.
Ketiga, Kami akan menuntut regime Ali Sastroamidjojo di muka PBB atas kejahatan
genoside yang sedang Ali Sastroamidjojo lakukan terhadap suku bangsa Aceh.
Keempat, Kami akan membawa ke hadapan mata seluruh dunia Islam,
kekejaman-kekejaman yang telah dilakukan regime Ali Sastroamidjojo terhadap
para alim ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah
dan sebagian Kalimantan.
Kelima, Kami akan mengusahakan pengakuan dunia Internasional terhadap Republik
Islam Indonesia, yang sekarang de facto menguasai Aceh sebagian Jawa Barat dan
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan sebagian Kalimantan.
Keenam, Kami akan mengusahakan pembaikotan diplomasi dan ekonomi internasional
terhadap regime Ali Sastroamidjojo dan penghentian bantuan teknik dan ekonomi
PBB, Amerika Serikat dan “Colombo Plan”.
Ketujuh, Kami akan mengusahakan bantuan moral dan materi buat Republik Islam
Indonesia dalam perjuangannya menghapus regime teroris Ali Sastroamidjojo dari
Indonesia.
Setelah lewat 20 September 1954 anjuran-anjuran Hasan Tiro tidak diindahkan.
Ali Sastroamidjojo kemudian mengirimkan delegasinya ke PBB untuk membuat
serangkaian fitnah-fitnah keji kepada Hasan Tiro, diantaranya menyatakan bahwa
Hasan Tiro mendapat sokongan dari golongan bukan Indonesia dan ancaman bahwa
setiap campur tangan untuk membantu gerombolan Darul Islam akan ditolak dan
pada hakekatnya merupakan perbuatan yang tidak bersahabat terhadap Republik
Indonesia. Hasan Tiro berjuang keras di New York untuk memasukkan persoalan
DI/TII ke dalam forum PBB dengan tujuan supaya kepada rakyat Aceh terutama
diberi hak menentukan nasib sendiri (self determination). Akan tetapi usaha
mulianya ini menemukan kegagalan
.
Selain itu Pemerintah mencabut Paspor diplomatik Hasan Tiro supaya Hasan Tiro
diusir dari Amerika akibatnya 27 September 1954 Hasan Tiro ditahan oleh Jawatan
Imigrasi New York. Tetapi karena bantuan beberapa orang senator, Hasan Tiro
diterima sebagai penduduk tetap di Amerika Serikat. Sejak itu kita tahu dia
menjadi pengkritik keras Soekarno
.
Pada 1958, Hasan menulis buku penting di New York berjudul Demokrasi untuk
Indonesia. Dia mengusulkan negara federal untuk Indonesia, melawan konsep
negara persatuan versi Soekarno. Dia mengkritik pedas sistem negara kesatuan,
yang menguntungkan etnis besar Jawa, dan cuma mendukung apa yang
disebutnya“demokrasi primitive”. Baginya, Indonesia terlalu luas untuk diatur
secara sentralistik dari Jakarta. Pada tahun 1958, Hasan Tiro menuangkan
pemikiran dalam buku berjudul “Demokrasi untuk Indonesia”. Di situ ia tawarkan
federasi sebagai bentuk Pemerintah Indonesia, tujuannya agar hubungan daerah
dan pusat tidak timpang
.
Hasan lalu melompat ke ide yang lebih radikal, dia menggeser pemikirannya ke
nasionalisme Aceh. Pada 1965, pamfletnya “Masa Depan Politik Dunia Melayu”
menolak ide Republik Indonesia. Kata Hasan, Indonesia tak lain dari proyek
“kolonialisme Jawa”, dan warisan tak sah perang kolonial Belanda. Dengan kata
lain, dia menyangkal penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia pada
1949. Baginya, hak merdeka harus dikembalikan kepada bangsa-bangsa seperti Aceh
atau Sunda, yang sudah berdaulat sebelum Indonesia lahir
.
Sejak itu dia menjelajahi sejarah, menulis sekian pamflet tentang nasionalisme
Aceh. Pada karyanya yang lain, “Atjeh Bak Mata Donja” (Aceh di Mata Dunia)
ditulis dalam bahasa Aceh pada 1968, dia menguraikan problem absennya kesadaran
historis dan politis rakyat Aceh setelah Perang Belanda. Dia mulai merekonstruksi
sejarah Aceh, dan menegasi segala upaya integrasi dengan republik
.
Hasan mengkaji lima editorial The New York Times sepanjang April–Juli 1873,
fase pertama Perang Aceh melawan Belanda. Dia menggali kembali patriotisme
Aceh. Harian kondang itu mengakui kapasitas kesultanan Aceh saat berperang
melawan Belanda. Perang menentukan ini, kata Hasan, hanya mungkin dikobarkan
karena semua pahlawan Aceh tahu “bagaimana mati” sebagai manusia terhormat
.
Ada dua dokumen penting yang dia dapat di Markas PBB yang membulatkan tekadnya
untuk memisahkan Aceh dari Indonesia. Dokumen itu berupa Resolusi PBB tentang
Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (Right to Self Determination). Dokumen
lainnya, berupa resolusi bahwa negara kolonial tidak boleh menyerahkan anak jajahannya
kepada negara lain
.
Ia menilai, Perang Belanda terhadap Aceh tidak menyebabkan Aceh takluk dan
dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Selain itu, Belanda tak berdasar menyerahkan
Aceh–melalui Konferensi Meja Bundar 1949–kepada Indonesia (Jawa), mengingat
Belanda tak berkuasa penuh atas Aceh, malah lari meninggalkan Aceh, setelah
tentara Jepang diundang ulama masuk Aceh
.
Ditambah alasan-alasan sejarah, etnosentris, dan penguasaan ekonomi oleh
Jakarta atas Aceh, membuat Hasan Tiro punya banyak alasan menyambung perjuangan
kakek buyutnya, Tgk Chik Di Tiro, untuk mempertahankan kedaulatan Aceh. Ia
mengimajinasikan sebuah negara/kerajaan sambungan (succesor state). Untuk itu,
Aceh harus mandiri dari Indonesia.
.
Kamp militer di Libya
Hasan paham, Aceh tak mudah diarak ke jalan merdeka. Satu-satunya cara adalah
mencari pengakuan internasional, dan berjuang dengan tema hak menentukan nasib
sendiri. Hasan melakukan lobi internasional, dan terus berkampanye tentang
“dekolonisasi” Indonesia. Pada masa 1980-1990an, dia bergandengan dengan
gerakan separatis lain, seperti Timor Timur (Fretilin) dan Republik Maluku
Selatan (RMS).
Pada 1980an, ketika gerakannya dipukul secara militer, Hasan membangun kembali
gerakan bersenjatanya di luar Aceh. Pada 1986, dia memilih Libya sebagai kamp
pelatihan militer. Selama empat tahun kemudian, dia melatih hampir 800 pemuda
Aceh. Tak hanya ketrampilan militer, tapi juga dan ideologi keAcehan. Selama di
Libya, Hasan terlibat intensif dalam gerakan anti-imperialisme. Selama tahun-tahun
itu dia ditunjuk selaku Ketua Komite Politik World Mathabah, satu organisasi
revolusioner berbasis di Tripoli. Wadah itu didirikan pemimpin Libya Muamar
Khadafi, untuk suatu proyek melawan hegemoni Amerika. Dalam bahasa politik,
inilah front menentang imperialisme, rasisme, zionisme dan fasisme.
.
DOM (Daerah Operasi Militer)
Pemerintahan Fasis Orde Baru segera mengantisipasi gerakan ini. Berbagai aksi
militer dilancarkan. Aceh kemudian di jadikan ladang Daerah Operasi Militer
(DOM). Akibatnya tindak kekerasan/penyiksaan, penangkapan tanpa prosedur,
penculikan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, penghilangan nyawa manusia dan
praktek-praktek pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap
saat
.
Pembantaian rakyat Aceh selama berlangsungnya Operasi Militer sejak 1989 hingga
1998 mencapai 30.000 nyawa. Sungguh malapetaka peradaban yang hanya bisa
terjadi dalam masyarakat primitif. Maka orang yang wajib bertanggungjawab atas
pembantaian-pembantaian tersebut dan segera disidangkan ke masjlis Umum PBB
atas nama penjahat perang adalah Jenderal Soeharto, Jenderal (Purn) L. B.
Moerdani, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Letjen (Purn) Syarwal Hamid, Jenderal
(Purn) Feisal Tanjung, Mayjen (Purn) H. R. Pramono, Letjen Prabowo Subianto,
Ibrahim Hasan (Gubernur Aceh periode 1986-1993)
.
Pasca jatuhnya pemerintahan Pembantai Rakyat Soeharto, isu “Aceh merdeka”
kembali menjadi sorotan dunia. pada 25 Januari 1999 Hasan Tiro menandatangani
surat perihal GAM yang dikirim kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akhir tahun 2002, Hasan Tiro menandatangani deklarasi berdirinya Negara Aceh
Sumatra
.
Perdamaian
Pada tahun 2000 status darurat militer akhirnya diturunkan menjadi darurat
sipil. Dan akhirnya Allah menggenapkan darurat Aceh dengan darurat Tsunami,
tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 tsunami telah meluluh lantakkan bumi
Serambi Mekkah tersebut. Sekitar 200.000 warga Aceh meninggal dan hilang. Hasan
Tiro yang saat itu menonton tayangan televisi di Norsborg, Swedia, menitikkan
air mata. Aceh yang ingin dia rebut sedang luluh lantak. Terjerembab ke titik
nadir peradaban. Perlu kondisi damai untuk membangun kembali Aceh dari
keterpurukan
.
Lalu, Zaini Abdullah dan Malik Mahmud menyahuti tawaran RI untuk berdamai. Kita
melihat bagaimana episode pergolakan ini selesai di meja perundingan di
Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Perdamaian ini pula yang memungkinan
Zaini Abdullah dan Malik Mahmud yang awalnya paling dicari aparat keamanan
Indonesia, bisa leluasa pulang ke Aceh.
.
Benarkah Hasan Tiro bersedia berdamai dengan RI ?? Sama sekali tidak, Hasan
Tiro yang sudah uzur dan pikun di iming imingi janji oleh dua tokoh GAM bahwa
PERDAMAiAN HANYALAH TAKTiK BELAKA karena Aceh akan lepas juga nantinya. Hasan
Tiro yang sudah uzur dan pikun tidak berdaya. Beliau pernah stroke di Singapura
karena kejadian ini namun karena di iming imingi janji oleh dua tokoh GAM bahwa
PERDAMAiAN HANYALAH TAKTiK BELAKA karena Aceh akan lepas juga nantinya maka
Hasan Tiro percaya saja
Dari Abu Beureueh Ke Hasan Tiro.Hukum Karma berlaku, jika dulu Hasan Tiro
menipu Teungku Daud Beureueh dengan membawa lari uang untuk biaya pembelian
senjata keluar negeri, maka di usia uzur yang bersangkutan ditipu oleh dua
tangan kanan nya..
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dideklarasikan Teungku Hasan Tiro pada 4
Desember 1976 adalah gagasannya sejak Januari 1965 untuk membentuk Negara Aceh.
Baginya, nilai adat Aceh telah dicampakan oleh kemajuan industri pada masa
Soeharto.
Hasan Tiro bersama para ulama Aceh menilai kekayaan alam Aceh dikuras melalui
pembangunan industri yang dikuasai orang asing melalui restu pemerintah pusat.
Tetapi rakyat Aceh tetap miskin, pendidikan rendah dan kondisi ekonomi sangat
memprihatinkan.
Bersama para tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh pada waktu itu mengadakan rapat
mendirikan GAM kaki Gunung Halimun, Pidie. Walaupun Hasan Tiro yang tak hadir
dalam pendirian GAM yang ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15
menteri, empat pejabat setingkat menteri dan enam gubernur.
Sebenarnya sejak 1970-an Hasan Tiro sudah sepakat dengan Daud Beureueh untuk
mendirikan Republik Islam Aceh. Hasan Tiro sendiri sudah hampir mengirimkan
senjata dari AS saat dia masih belajar di sana.
Kontroversi ini sebenarnya masih mengalir sampai sekarang. Ada yang menganggap,
setelah Daud Beureueh turun gunung, ia tidak pernah lagi terlibat dalam gerakan
politik. Perlawanan yang diusung GAM, sama sekali tidak terkait dengan DI/TII.
“Kalau Hasan Tiro kan menuntut kemerdekaan, sedangkan DI/TII melawan karena
kecewa,” kata M Jasin, mantan Pangdam Iskandar Muda yang dianggap berhasil
mengajak Daud Beureueh turun gunung.
Tak hanya Jasin, tokoh-tokoh senior di Aceh juga banyak yang mendukung argumen
itu. Dalam sebuah tulisannya di Republika, almarhum Ali Hasjmy, mantan Gubernur
Aceh, memutus kaitan GAM dan Abu Beureueh. Menurutnya, GAM dan Hasan Tiro
adalah gerakan kriminal, sedangkan DI/TII adalah gerakan politik murni.
Tak heran jika awal-awal perlawanan GAM, Pemerintah Indonesia menuding mereka
sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK). Stigma kriminal dimunculkan untuk
memutus dukungan pengikut Daud Beureueh yang dikenal sebagai legenda bagi warga
Aceh.
Nyatanya, upaya membumikan GAM sebagai kelompok kriminal tetap gagal. Hasan
Tiro kadung jadi ikon perlawanan rakyat yang baru, terutama di masa Orde Baru.
Lihat saja daftar tokoh pertama yang bergabung dalam GAM. Banyak di antara
mereka adalah bekas pendukung DI/TII. Sebut saja Teungku Ilyas Leube dan Daud
Husin alias Daud Paneuek (paneuek artinya pendek). Ilyas adalah ulama yang
disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung setia Daud Beureueh. Dalam
susunan kabinet GAM pertama, Ilyas duduk sebagai Menteri Kehakiman, sedangkan
Daud Paneuek sebagai Panglima Angkatan Bersenjata.
Menurut Baihaqi, mantan pasukan DI/TII, keputusan Ilyas mendukung GAM
semata-amata karena kecewa dengan sikap pemerintah yang ternyata hanya memberi
janji omong kosong kepada Aceh. “Ilyas orangnya sangat peka terhadap agama.
Ketika Syariat Islam tidak berjalan di Aceh, ia orang yang paling marah” kata
Baihaqi yang juga sepupu Ilyas.
Padahal, saat Daud Beureueh turun gunung, pemerintah berjanji memberikan tiga
keistimewaan untuk Aceh: syariat Islam, pendidikan, dan budaya. Nyatanya, semua
janji itu tak dipenuhi. Tak heran, begitu Hasan Tiro mengumandangkan perlawanan
di paruh akhir tahun 1970-an, Ilyas pun menjadi orang pertama yang mendukung.
Ketika GAM masih dalam bentuk rancangan, menurut Baihaqi, sebenarnya Daud
Beureueh sudah diberi tahu masalah itu. Hanya saja, Beureueh tak mungkin lagi
angkat senjata karena di tahun 1976, saat Hasan Tiro datang ke Aceh untuk kedua
kalinya, Abu Beureueh sudah berusia 77 tahun.
“Ayahanda tidak perlu berperang. Biar kami saja yang melakukan perlawanan. Kami
hanya perlu dukungan dari Ayahanda,” demikian bujuk Hasan Tiro kepada Daud
Beureueh seperti ditirukan Baihaqi kepada acehkita.
Sebagai asisten pribadi Abu Beureueh, Baihaqi tahu persis dialog itu. Apalagi,
ia masih memiliki hubungan darah dengan Ilyas Leube. “Jadi kalau dikatakan Daud
Beureueh mendukung Hasan Tiro, itu bisa jadi benar,” katanya. Bedanya, di masa
DI/TII, Daud Beurueh mengumumkan perlawanan secara resmi dan terbuka kepada
seluruh masyarakat Aceh, tetapi di masa GAM, ia lebih banyak diam.
Hubungan Daud Beureueh dan Hasan Tiro sebenarnya pernah memburuk. Dalam bukunya,
Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka, wartawan Neta S Pane menulis, saat
pulang ke Aceh pada 1975, Daud Beureueh pernah memberikan uang sebesar Rp 12,5
juta kepada Tiro untuk membeli senjata. Singkat cerita, saat muncul lagi pada
1977, alangkah terkejutnya tokoh-tokoh GAM karena tak mendapatkan apa yang
diharap. “Hasan Tiro hanya membawa tiga pucuk pistol jenis colt dan dua pucuk
senjata double loop. Beberapa tokoh GAM mengejeknya bahwa senjata itu hanya
cukup untuk membunuh babi hutan,” tulis Neta yang kini mengelola Lembaga
Pengamat Polri (Gamatpol).
Meski demikian, Daud Beureueh tak pernah marah kepada Hasan Tiro. Dukungan Daud
Beureueh kepada GAM juga dibenarkan Zakaria, seorang tokoh GAM yang tinggal di
Thailand. Menurutnya, saat Hasan Tiro melakukan pendidikan politik di hutan,
beberapa kali Daud Beuerueh mengirimkan bantuan kepada mereka. “Saya sering
sekali disuruh Daud Beureueh menyampaikan bantuan itu,” akunya.
Bantuan tak hanya berupa uang, tapi juga bahan makanan untuk Hasan Tiro dan pendukungnya.
Dukungan Daud Beureueh kepada GAM pada masa itu diberikan karena Hasan Tiro
bertekad mendirikan negara Islam di Aceh. Zakaria sendiri termasuk pendukung
Hasan Tiro paling setia. Ketika operasi militer berlangsung pada 1983, ia
berhasil melarikan diri ke Malaysia. Pertemuan terakhir acehkita dengan Zakaria
berlangsung di Thailand, dua tahun lalu.
Dalam barisan GAM, Zakaria yang saat ini berusia sekitar 69 tahun, menjabat
sebagai Menteri Pertahanan yang ditempatkan di Thailand. Dia orang penting yang
berperan sebagai penyedia senjata untuk GAM. Senjata itu dibeli dari perbatasan
Kamboja dan Vietnam, selanjutnya dikirim melalui pesisir pantai Malaysia menuju
pantai Aceh Timur.
Zakaria mengisahkan, untuk menyampaikan bantuan dari Daud Beureueh kepada Hasan
Tiro, ia harus berhati-hati. Soalnya, sejak 1977, setahun setelah kemerdekaan
GAM diproklamasikan, pemerintah mulai mendatangkan pasukan ke Aceh.
Setelah Hasan Tiro kembali ke Amerika pada 1979, kekuatan GAM tak luntur.
Semakin lama, pengikutnya kian banyak. Intelijen TNI sendiri disebut-sebut
mengetahui kalau Daud Beureueh memberi dukungan moral kepada GAM. Untuk
mencegah meluasnya pengaruh ulama itu, dalam sebuah operasi intelijen yang
dipimpin Lettu Sjafrie Sjamsoeddin (sekarang Sekjen Departemen Pertahanan
berpangkat Mayjen), pada 1 Mei 1978, Daud Beureueh dibawa secara paksa. Ia tak
kuasa melawan karena sudah dibius. Daud Beuereueh dibawa ke Medan selanjutnya
diterbangkan ke Jakarta untuk selanjutnya ditempatkan di sebuah rumah mewah di
bilangan Tomang, Jakarta Barat, sebagai tahanan di sangkar emas.
Ini upaya mengungsikan Daud Beureueh kedua kalinya setelah pada 1971 ia
‘dipaksa’ keliling Eropa untuk mencegah pengaruhnya meluas di Aceh saat
berlangsungnya pemilu. Daud Beureueh sendiri adalah pendukung PPP.
Saat Abu Beuereueh menetap di Jakarta, operasi penumpasan GAM dilakukan
besar-besaran. Satu demi satu orang-orang dekat Hasan Tiro tewas. Sebut saja Dr
Muchtar Hasbi, seorang intelektual muda Aceh, 35 tahun, yang tewas setelah
disiksa. Mayatnya dikembalikan ke keluarganya dalam keadaan tanpa pakaian.
Muchtar Hasbi adalah Perdana Menteri pertama GAM.
Dr Zubir Mahmud, 29 tahun, yang dalam kabinet GAM menduduki jabatan sebagai
Menteri Sosial, juga tewas ditembak tak jauh dari rumahnya pada Mei 1980.
Selain itu, Teungku Haji Ilyas Leube yang menggantikan posisi Muchtar sebagai
Perdana Menteri, juga tewas di ujung peluru pada Juli 1982.
Para sejarawan Aceh menyebut, Daud Beureueh sebenarnya sangat kecewa
dipindahkan ke Jakarta. Selain karena ruang gerak yang selalu diawasi, ia juga
sedih karena dijauhkan dengan murid-muridnya. Ia menjadi terhalang menyampaikan
ajaran-ajaran Islam. Ia pun tak lagi bisa tampil sebagai imam masjid. Tapi ia
sendiri tak kuasa melawan karena kesehatannya sudah menurun. Ia menetap di
Jakarta bersama anak dan cucunya dengan fasilitas dari pemerintah.
Kegelisahan Teungku Daud itu dirasakan sahabat dan murid-muridnya. Beberapa
orang yang penah dekat dengannya, antara lain Ali Hasjmy (saat itu sebagai
Rektor IAIN Ar-Raniry setelah pensiun dari Gubernur Aceh) dan Teungku H
Abdullah Ujongrimba (Ketua MUI Aceh), melobi Wakil Presiden Adam Malik agar
memulangkan Daud Beureueh ke Aceh. Mereka menjamin, selama di Aceh, Daud
Beureueh tak akan memberikan perlawanan kepada pemerintah, apalagi ikut
mendukung GAM.
Harapan itu terkabul. Pada 1982 ulama simbol perlawanan itu kembali ke Bumi
Seulanga. Malangnya, pada 1985, ia terjatuh dari tempat tidur sehingga engsel
pinggulnya mengalami gangguan. Sejak itu ia tidak bisa berdiri. Tamu-tamu yang
datang mengunjunginya tetap disambut secara terbuka. Legenda Aceh itu akhirnya
meninggal dunia pada 10 Juni 1987.
Jasadnya dimakamkan di bawah pohon mangga di pekarangan Masjid Baitul A’la lil
Mujahidin di Beureunen. Seluruh Aceh berduka. Sejak itu, tragedi demi tragedi
berkali-kali singgah di bumi Serambi Mekkah. Dua tahun setelah kepergian sang
tokoh, Tanah Rencong bersimbah darah dengan digelarnya Operasi Jaring Merah
atau pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).
Sepeninggal Daud Beureueh, Hasan Tiro pun menjadi simbol perlawanan baru,
lengkap dengan segala kontroversinya
.
Pulang Kampung
Pada 9-10 Oktober 2008 Ratusan kendaraan yang membawa ribuan warga Aceh yang
datang dari berbagai kabupaten seperti Aceh Timur, Aceh Utara, Bireun, dan Pidie
memadati Banda Aceh. Mereka berkumpul di Kompleks Masjid Raya Baiturrahman Kota
Banda Aceh dan rela menginap di tempat-tempat terbuka seperti pelataran Masjid
Raya menyambut kedatangan Wali Nanggroe yang juga proklamator Gerakan Aceh
Merdeka Hasan Tiro.
Antusiasme juga terlihat dari pengurus dan simpatisan Partai Aceh, salah satu
partai lokal yang didirikan mantan aktivis GAM. Ratusan kendaraan yang lalu
lalang di berbagai jalan utama kota Banda Aceh ditempeli berbagai atribut
Partai Aceh.
.
Pada 11 Oktober 2008 Pesawat sewaan yang mengangkut mantan pemimpin GAM Hasan
Tiro (83) mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten
Aceh Besar, NAD. Kedatangan Hasan Tiro dan rombongan dari Kuala Lumpur,
Malaysia, dikawal ketat oleh satuan tugas yang dibentuk Komite Peralihan Aceh
.
Saat turun dari tangga pesawat, Begitu turun dari pesawat, Hasan Tiro langsung
bersujud mendapat kalungan bunga dari Wakil Gubernur NAD Muhammad Nazar. Dalam
rombongan Hasan Tiro terlihat antara lain Gubernur Irwandi Yusuf dan sejumlah
mantan petinggi GAM, yakni Muzakkir Manaf serta Dr Zaini Abdullah. Hasan Tiro
melambaikan tangan ke arah ratusan orang yang berkumpul di Bandara
.
Dari bandara, rombongan Hasan Tiro langsung menuju Masjid Raya Banda Aceh,
pusat berkumpulnya ratusan ribu warga. Namun, kondisi fisik dan usia Hasan Tiro
tak memungkinkannya berbicara lama secara langsung dengan massa di hadapannya.
Hasan Tiro hanya berpidato secara singkat dalam bahasa Aceh. ”Assalamualaikum,
saya sudah kembali ke Aceh. Allahu Akbar,” ujarnya
.
Kemudian ia kembali ke Swedia dan akhirnya kembali menetap di Aceh pada tahun
2010. Masih banyak orang yang berharap ia kembali menjadi pemimpin sejati
masyarakat. Ia lalu dipanggil “Wali Nanggroe”, penghargaan adat yang tidak
pernah diberikan kepada siapapun selain Hasan Tiro sepanjang sejarah Aceh.
Gelar ini diberikan secara “aklamasi” tanpa sebuah proses apapun. Hampir semua
orang Aceh tahu kalau ia adalah Wali Nanggroe.
.
Sang Wali Pergi
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro kembali terbaring sakit. Jantung, dan komplikasi
organ dalam, memaksanya berdiam di Rumah sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh.
Tekanan darahnya 70-40. Seiring dengan dunia yang terus berputar, dan waktu
menjawab banyak persoalan. Kamis, 4 Juni 2010, 26 jam setelah pemerintah
Indonesia memberikan hak kewarganegaraan Indonesia kepadanya, Hasan Tiro
menghembuskan nafas terkahir di Banda Aceh. Ia dimakamkan di sisi kuburan
kakeknya, Teungku Chik Di Tiro, di Aceh Besar. Di sana ia mengakhiri semua
petualangan dan perjuangan ideologisnya. Pada saat matahari tegak lurus dengan
bumi, pada hari itu, orang-orang Aceh meratap.
Sosok yang akrab disapa Paduka Wali nanggroe oleh masyarakat Aceh merupakan figur
kontroversial. Bila di Jawa ada Sosok Soekarno, maka di Aceh ada Tengku Hasan
Tiro.Demikian kisahnya hanya sebagian mungkin belum lengkap.
ADS HERE !!!
↑
CB