Cerita Kehidupan Aulia
Kisah Tengku Chik di Pasi
Cerita yang anda baca sekarang ini merupakan kisah benar terjadi dari
perjalanan hidup seorang hamba Allah yang dikenal dengan nama Tengku Chik di
Pasi (bukan nama asli), kisah nyata ini diceritakan secara turun temurun
oleh masyrakat Pidie, khususnya masyarakat yang berdomisili di kawasan
Simpang Tiga dan Kembang Tanjong,riwayat ini menceritakan bagaimana
perjalanan seorang hamba Allah yang mendapat keramat (keuramat)
Allah SWT. Bukti sejarah dari perjalanan hidup beliau hingga ini masih dapat
dijumpai sampai sekarang di beberapa kampung dalam kecamatan Simpang
Tiga dan Kembang Tanjung. Nama asli beliau yaitu Abdussamad bin Harun,
beliau berdomisili di gampong Waidoe kecamatan Simpang Tiga Kabupaten
Pidie. Kendati beliau berdomisili di Waidoe perjalanan hidup beliau
terjadi di beberapa tempat terutama di kawasan kecamatan Simpang Tiga
dan Kembang Tanjong.
Pada suatu hari ada beberapa orang tamu datang ke rumah Tengku Chik
untuk bertamu, ini merupakan tradisi yang dibangun masyarakat Aceh untuk
menghormati seorang ulama, dan ini sudah menjadi resam dalam
masyarakat. Tengku Chik yaitu seorang ulama yang hidupnya sederhana,
kebetulan pada hari itu ketika tamu-tamu datang ke rumah tidak ada lauk
yang akan di masak untuk makan siang para tamu, isteri Tengku Chik
mengomel dan mengeluh. Melihat kondisi tersebut Tengku Chik mohon izin
sebentar kepada tamunya itu, beliau segera ke belakang rumah mengambil
jala serta mengajak seoarang anak kecil yang sedang berada di depan
rumahnya. Melihat keadaan agak lengang, beliau segera membuka jala dan
melemparnya persis di halaman rumahnya, setelah ditarik, Subahanallah
yang didapat adalah ikan bandeng yang lumayan besar-besar, beliau
mengulangi melempar jala di tempat itu juga, hasilnya juga sama, anak
kecil tadi merasa heran dengan tingkah dari Tengku Chik. Setelah merasa
cukup beliau menyuruh anak tersebut memberikan ikan yang didapat tadi
kepada isterinya, terselesaikanlah keluhan isterinya tersebut berkat
keuramat yang dimiliki beliau.
Tengku Chik hidup di tengah masyarakat Waido yang kebanyakan berprofesi
sebagai petani, demikian juga dengan Tengku Chik. Sudah menjadi tradisi
masa lalu bahwa membajak sawah (meugoe) dilakukan dengan lembu atau
kerbau, begitu juga meugoe yang dilakukan oleh Tengku Chik Pasi.
Setiap hari beliau pergi ke sawah selalu terlambat dari petani yang
lain, bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau, ketika orang bertanya
“Mengapa tengku selalu terlambat ke sawah?” beliau menjawab “Lembu saya
terlambat bangun tidur, saya tidak mau mengganggu tidurnya” demikian
jawaban Tengku Chik. Akibatnya beliau tertinggal dari petani, lain yang
sudah siap sawahnya untuk ditanami padi sedangkan beliau tidak. Kendati
demikian sawah yang duluan padinya ditanami adalah sawah Tengku Chik,
hasil padi beliau pun lebih melimpah dibandingkan dengan petani lainnya.
Pada suatu hari ketika beliau pulang menuju Waido, beliau singgah
sebentar di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga, karena merasa
kehausan beliau meminta seteguk air tebu yang sedang diperas oleh salah
seorang penduduk gampong Blang tersebut, persisnya di keude gampong
Blang sekarang. Air tebu yang diperas warga tadi akan dimasak menjadi
manisan, air tebu diperas dengan menggunakan weng teubee (alat
peras) yang ditarik oleh kerbau. Tengku Chik menghampiri warga tersebut
dan meminta sedikit air tebu yang diperasnya, orang tadi tidak mau
memberikannya dengan alasan air tebunya mau dimasak untuk manisan dan
bukan untuk diminum, mendengar jawaban tersebut Tengku Chik langsung
bergegas pulang menuju Waido. Dalam perjalanan pulang beliau tanpa
sengaja menoleh ke belakang, terlihat weng tubee tadi mengikutinya tanpa ditarik oleh kerbau, sungguh aneh! Melihat hal itu beliau berhenti dan berujar kepada weng teubee tersebut “alah hai meutuah, bek lee ka seutoet lon” (Wahai meutuah jangan engkau ikuti saya lagi). Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, weng teubee tadi berhenti dan Tengku Chik pun meneruskan perjalanannya pulang ke Waido. Weng teubee sekarang bisa dijumpai di kawasan antara gampong Blang dengan Waido. (penulis tidak tahu persis nama gampong tersebut).
Diceritakan pada suatu hari beliau datang ke Teungu kecamatan Simpang
Tiga, ini sering dilakukannya, bahkan ke gampong-gampong lainnya, tidak
hanya Teungue. Ketika tiba di Teungue, diceritakan bahwa beliau
beristirahat di bawah pohon kelapa, tiba-tiba tupai yang ada di pohon
kelapa tersebut kencing dan jatuh menimpa kain Tengku Chik, melihat
kainnya tertimpa kencing tupai, beliau merasa kesal dan berkata yang
intinya agar Teungu aman dari serangan tupai. Sampai sekarang pun tidak
ada seekor tupai pun yang bertahan hidup di daerah Tengue. Mengenai hal
ini penulis mempersilahkan kita semua untuk menguji kebenarannya, bahkan
sudah banyak orang yang datang sengaja membawa tupai ke Teungue, namun
yang terjadi tupai tidak dapat bertahan hidup lama dan mati.
Karena ketenaran namanya serta
keuramat yang terbukti dimiliknya,
semua warga gampong dalam kecamatan Simpang Tiga menginginkan agar
ketika meninggal Tengku Chik dikebumikan di gampong mereka, akhirnya
Tengku Chik memutuskan jalan tengah agar tidak terjadi perdebatan
mengenai lokasi kuburannya, jalan yang diambil Tengku Chik adalah dengan
melempar tongkat yang dimilikinya, dimana nanti tongkatnya jatuh
disitulah kuburannya. Tengku Chik melempar tongkat dari Waido dan jatuh
di Kawasan Ie Leubee kecamatan Kembang Tanjong, jarak dari Waido ke Ie
Leubee kira-kira 12 km, Subhanallah! Sungguh aneh, tetapi itulah yang
terjadi, dengan demikian maka kuburan beliau adalah di Ie Leubee
kecamatan Kembang Tanjong.
Beberapa waktu kemudian (tidak disebutkan dengan jelas tahunnya) beliau
pun meninggal, sesuai dengan wasiat beliau, beliau dikebumikan di Ie
Leubee. Seluruh warga mengantar jenazah beliau dari Waido menuju Ie
Lelubee, untuk mempersingkat perjalanan ditempuhlah dengan melewati
persawahan yang pada saat itu mulai dikerjakan petani untuk ditanami
padi. Ada seorang petani yang melarang jenazah Tengku Chik diusung
melewari sawahnya, dengan alasan ateung (pematang sawah) yang
dibuatnya akan rusak terinjak pengusung jenazah, karena dilarang oleh
petani tersebut jenazah Tengku Chik diusung tidak melewati sawah
tersebut dan mengambil arah lain. Sampai sekarang pun ateung
sawah tersebut selalu rusak walaupun setiap tahun diperbaiki. Sawah
tersebut terletak di kawasan gampong Blang kecamatan Simpang Tiga.
Dikisahkan pula bahwa para pengusung jenazah Tengku Chik mengaku
bagaikan mengusung kapas dan jarak yang ditempuh sedemikian jauh terasa
dekat. Sampai sekarang kuburan Tengku Chik Pasi yang terletak di Ie
Leubee sering banyak diziarahi warga, baik dari kembang Tanjong, Simpang Tiga
serta daerah-derah lain.
ADS HERE !!!